Jumat, 31 Agustus 2007

Haroana Andala.


Ritual Bahari Yang Nyaris Tenggelam Di Dasar Samudera Wolio

Jagania mpu kalalesana andala yitu

Bholi so umakidha uwala antona maka haragangia dhuka temo padhangia iya

Ro namo O tawo teingkita manusia ko sarongi tasangu

(Jagalah selalu luasnya lautan itu, Jangan hanya pandai mengambil isinya tetapi hormati pula dengan penciptanya. Karena laut dengan kita manusia adalah satu kesatuan yang saling membutuhkan)

(pesan para leluhur)

Ahad, 17 Juni 2007. pagi yang cerah, laut di tepian teluk Bone-Bone Kota Bau-Bau membiru, gelombang lautnya tenang. Puluhan kapal penangkap ikan jenis fiber berjejal berbaris rapi. Dua tetua nelayan dipinggir pantai tampak sibuk menyangrai gabah kering disebuah bejana tanah. Selanjutnya dengan sedikit jampi sangrai gabah itu dihamburkan ke bibir pantai. Inilah permulaan digelarnya sebuah ritual masyarakat nelayan Bone-Bone Kota Bau-Bau yang disebut dengan Haroana Andala.

Haroana Andala berlanjut, nelayan lainnya sibuk mempersiapkan aneka macam panganan, terdiri dari ikan dalam berbagai olahan, kue-kue khas wolio hingga 2 ekor ayam dengan warna berbeda. Aneka panganan inilah yang menjadi persembahan nelayan yang kemudian disimpan di sebuah bahtera (perahu) khas Buton (Boti) ukuran mini. Bahtera ini yang menjadi wadah sesajen yang akan dilepaskan di lautan lepas, tentunya pula dengan sejumlah mantera dari para tetua nelayan itu sendiri.

Setelah semua prosesi ritual terhadap sesajen dirampungkan, barulah Bhoti dilepas ke laut menuju sebuah kawasan yang dianggap ‘tempat khusus’ melepas sesajen tersebut, yakni kawasan segitiga teluk Bau-Bau antara Bonebone (Bau-Bau)-Waara dan Kauruapuna (Pulau Muna). Konon kawasan ini dikeramatkan warga setempat, karena sering banyak kecelakaan laut terjadi disana. Salah satunya persitiwa naas di tahun 2002 Kapal Motor (KM) Kenangan len Bau-Bau-Kabaena tenggelam di kawasan itu dan menewaskan setidaknya 20 nyawa manusia, serta kerugian materi puluhan juta rupiah.

Pelepasan Boti berisi sesajen itu dihantar dengan puluhan kapal fiber nelayan yang ikut mengangkut puluhan masyarakat Bone-Bone yang memang mayoritas nelayan itu. Tentunya dengan tujuan, menyaksikan ritual yang baru digelar kembali ditahun 2007 ini setelah ‘terkubur’ selama 13 tahun lamanya di dasar samudera.

Di kawasan ‘segitiga bermuda’ itu ratusan nelayan tidak larut dalam suasana yang mencekam karena kesakralan pelepasan sesajen itu. Malah sebaliknya, kegembiraan memancar di raut wajah para nelayan. Seorang tokoh masyarakat nelayan Bone-Bone, H. Muirun Awi mengungkapkan jika kegembiraan warga diatas kapal fiber pengantar Bhoti memiliki makna agar lautan terus menjadi tempat mengais rezeki yang berlimpah, dan senantiasa bersahabat dengan para nelayan.

Namun ada syarat khusus yang berlaku bagi para ‘peserta’ konvoi kapal fiber tersebut, yakni tak boleh satu pun penganan sesajen kembali ke Bone-Bone. “Semuanya harus habis ditengah lautan, boleh kembali ke darat asal jangan ke Bone-Bone, itu yang menjadi kepercayaan masyarakat nelayan Bone-Bone,” papar Budiamin, salah seorang panitia kegiatan tersebut.

Anehnya, setelah semua prosesi ritual selesai, dari atas kapal yang ditumpangi tampak ikan-ikan bergerombol muncul dipermukaan laut. Bahkan beberapa Lumba-lumba memunculkan dirinya bermain di riak-riak gelombang, juga beberapa jenis ikan tongkol tampak berseliweran. “Alhamdulillah, semoga ini pertanda baik bagi nasib para nelayan,” ujar La Azi, sespuh nelayan di kawasan itu.

Itulah sepenggal kisah pelaksanaan ritual Haroana Andala, sebuah ritual kesyukuran para nelayan kepada Sang Maha Pencipta akan rezeki yang dilimpahkannya dari lautan. (**)

Dari Bone ke Bone-Bone

Aktifitas penangkapan ikan dengan menggunakan alat tangkap jala, bagi masyarakat nelayan Kelurahan Bone-Bone pertama kali dipekenalkan oleh ANDI MANGUJU seorang nelayan jala dari Bugis Bone Sulawesi Selatan yang datang mencari ikan di Bone-Bone dan menginap di pantai Morikana.

Sejak itulah maka alat tangkap jala telah dijadikan sarana utama penangkapan ikan bagi nalayan Bone-Bone dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Seiring dengan perkembangan teknologi penangkapan ikan dewasa ini banyak nelayan Bone-Bone yang mengusahakan penangkapan ikan dengan menggunakan alat tangkap Pole And Line (penangkapan Cakalang-Tuna). Kendati demikian namun alat tangkap jala bukannya terabaikan tetapi justru menjadi sarana penunjang utama dalam hal penyediaan umpan (ikan Balelong).

Meski begitu, upacara Haroana Andala yang digelar turun temurun dari generasi kegenerasi pertama kali diprakarsai oleh seorang nelayan Bone-Bone bernama LA ASAMANA, namun tidak jelas sejak kapan ritual ini dimulai.

Upacara Haroana Andala memiliki pengertian sebagai suatu prosesi adat yang bernuansa syahadatain dan permohonan do’a kepada Allah SWT. Dengan harapan agar dilimpahkan rahmat, keselamatan dan rezeki dalam mencari nafkah dilaut untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari sebagai nelayan. Selain itu Haroana Andala juga merupakan implementasi kesadaran masyarakat nelayan Bone-Bone sebagai manusia yang dikuasai oleh sang pencipta, dimana segenap perasaan dan pemikirannya ditundukkan hanya kepada sang Khalik serta sebagai bentuk ekspresi perasaan yang diwujudkan dalam suatu tindakan atau perbuatan yang ditujukan pada kekuatan Gaib yang diyakini sebagai penguasa alam (termasuk alam laut).

Secara umum pelaksanaan Haroana andala dilaksanakan dengan nuansa megis yang diawali dengan permohonan do’a kepada Allah Swt. Agar nelayan Bone-Bone dalam melaksanakan aktifitasnya selalu diberikan rezeki dan keselamatan dunia dan akhirat. Kemudian dilanjutkan dengan pembuatan “BENTE” yang bahan bakunya berasal dari padi sebagai simbolisasi tameng diri dari setiap nelayan dalam melaksanakan aktifitasnya dilaut.

Setelah itu kemudian bahtera yang telah berisi bahan-bahan makanan diangkut keatas kapal untuk dibawah kelaut tempat pemasangan rumpon di lepas pantai Waara (diantara ngkolo-ngkolo dan Kauruapuna). Pada saat pelepasan bahtera untuk dilayarkan maka terlebih dahulu haluannya diarahkan menuju barat daya yang diawali dengan pengucapan Syalawat Nabi besar Muhammad Saw yang di ikuti oleh para nelayan, kemudian dilanjutkan dengan dengan ziarah kubur (membaca Fatiha) dimakam ANDI MANGUJU.

Beberapa kelengkapan ritual ini diantaranya: Beras ketan merah dan putih melambangkan kesejahteraan dan kemakmuran yang hakiki, Ayam jantan berbulu merah dan ayam betina (dhoridhi) disimbolkan sebagai jam alam yang selalu memberikan peringatan kepada masyarakat nelayan Bone-Bone akan datangnya waktu, Telur ayam 40, Kue Waji (wajik) 40 buah, Kue Cucur 40 buah yang dibuat dari beras ketan merah dengan bentuk bundar, Ubi jalar 40 buah, Pisang oke 40 biji, Ikan kadapo 40 bungkus yang dibungkus dengan kulit jagung, Ikan Boo-booka 3 ekor, Ikan Buke-buke 3 ekor, Ikan Katamba 3 ekor, Ikan Surabalongka 3 ekor, Ikan Ndoma 3 ekor, Daun Butu sebagai pengalas dari bahan-bahan tersebut diatas, tentunya semuanya memiliki makna yang mendalam bagi nelayan Bone-Bone. Selain itu harus disediakan Tangku sebagai tempat dupa yang mengiaskan ikan balelong (baelo) tetap tinggal selamanya di rumpon. (hamzah/elim, dari berbagai sumber)

Tidak ada komentar: